Pragmatisme, Keserakahan, dan Kegagalan Sistemik: Penyebab Korupsi yang Mengakar di Indonesia
Slot online terpercaya – Belakangan ini, kasus-kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara yang cukup besar menjadi fokus perhatian publik.
Misalnya, kasus korupsi pengelolaan minyak mentah di Pertamina yang merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun, kasus korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang mencapai Rp11,7 triliun, dan kasus korupsi yang melibatkan dana iklan BJB.
Sebelumnya, sempat heboh kasus korupsi di PT Timah yang ditaksir merugikan negara hingga Rp300 triliun.
Berbagai kasus korupsi tersebut menggambarkan betapa mengakarnya masalah ini dalam kehidupan bangsa, bahkan telah mengakar di berbagai sektor kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
Zainal Arifin Mochtar, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), mengidentifikasi tiga faktor utama yang menjadi akar permasalahan korupsi di Indonesia sehingga sulit untuk diberantas, yaitu pragmatisme, keserakahan, dan kegagalan dalam membangun sistem yang efektif.
Ia menyoroti bahwa pragmatisme sering kali mendorong orang untuk terlibat dalam tindakan korupsi.
“M Setiap orang lebih memilih solusi cepat, seperti membayar uang suap dalam pelanggaran lalu lintas, daripada berpegang teguh pada idealisme dan menghadapi konsekuensi hukum yang lebih berat,” ujar Dr. Mochtar dalam Kuliah Khusus Ramadan Bestari bertajuk “Korupsi Kronis di Mana-mana”, Minggu (22/3).
Menurut Dr.
Mochtar, keserakahan juga menjadi penyebab dari semua kasus korupsi. Keserakahan tidak mengenal batas, dan banyak orang terjerat korupsi karena ketidakmampuan mereka untuk mengendalikan keinginan pribadi.
Yang lebih memprihatinkan lagi, kegagalan dalam membangun sistem yang baik merupakan faktor penting di balik maraknya kasus korupsi.
Sistem yang tidak dirancang dengan baik membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
“Misalnya, masalah impor barang kebutuhan pokok yang sering kali disebabkan oleh data yang tidak akurat atau pencatatan yang tidak jelas. Begitu juga dengan penyalahgunaan kuota impor yang tidak transparan,” tambah Dr.
Terakhir, beliau menekankan pentingnya kemauan semua pihak untuk memberantas korupsi. Ia meyakini bahwa masalah terbesar bukanlah kemampuan untuk menegakkan hukum, melainkan kemampuan untuk ika ada kemauan untuk menegakkannya dan menjaga integritas.
Profesor Nanang T.
Puspito, Sekretaris Forum Guru Besar di Institut Teknologi Bandung, berbagi pengalamannya mengajar antikorupsi selama 15 tahun, meskipun di luar bidang keahlian akademisnya.
Beliau menekankan bahwa Indonesia menghadapi masalah serius terkait korupsi. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih rendah, penegakan hukum yang lemah dan kurangnya panutan membuat masyarakat semakin permisif terhadap korupsi.
Yang lebih menyedihkan lagi, lanjutnya, penegakan hukum terhadap para pejabat yang korup masih sangat lemah dan tidak menimbulkan efek jera, sehingga tidak ada rasa takut untuk melakukan korupsi.
“Sebagai akademisi dan guru besar, saya harus menyatakan bahwa korupsi di Indonesia terus berkembang, mempengaruhi hampir semua sektor kehidupan, dan indeks persepsi korupsi kita sangat rendah, yaitu 37 dari nilai maksimal 100. Jika kita bandingkan dengan nilai siswa, nilai 37 akan dianggap gagal,” katanya.
Profesor Puspito menyebutkan bahwa strategi anti-korupsi di Indonesia terdiri dari penegakan hukum, pencegahan, dan pendidikan.
Aspek pendidikan bertujuan untuk memastikan bahwa orang tidak ingin terlibat dalam korupsi, bukan hanya karena takut atau karena mereka tidak bisa, tetapi karena mereka tidak mau.
“Inilah tujuan akhir dari pendidikan antikorupsi.
Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk menumbuhkan budaya antikorupsi di kalangan mahasiswa dengan memberikan mereka pengetahuan, nilai, dan keterampilan yang diperlukan untuk mempromosikan budaya antikorupsi di kampus,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Rahmawati, dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sangat kompleks dan melibatkan banyak pelaku di berbagai tingkatan, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintahan desa.
Ia mengatakan bahwa yang paling memprihatinkan adalah banyaknya mantan narapidana korupsi yang masih dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Hal ini mencerminkan lemahnya integritas di Indonesia. nesia di ranah politik.
“Banyak kalangan di masyarakat yang menganggap korupsi sebagai hal yang wajar. Hal ini tercermin dari semakin banyaknya kasus penyuapan dalam proses rekrutmen pegawai negeri sipil dan pegawai swasta, serta ketidakjujuran dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari,” katanya.
Ia berpendapat bahwa budaya korupsi yang telah mengakar membutuhkan upaya serius untuk menumbuhkan budaya anti-korupsi.
Ia mengusulkan untuk melarang mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif atau pejabat publik dan menerapkan hukuman yang lebih berat, seperti mewajibkan pengembalian kerugian negara dan penyitaan aset.
Selain itu, ia juga mengusulkan adanya pemantauan dan evaluasi rutin terhadap transparansi dan akuntabilitas pejabat publik, yang didukung oleh penelitian universitas.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dr.
Laode Muhammad Syarif, menyatakan bahwa korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam telah menjadi masalah yang serius.
Korupsi melibatkan berbagai pihak, mulai dari pejabat tinggi hingga pejabat daerah. mulai dari pejabat pemerintah hingga pebisnis sektor swasta.
Metode yang digunakan beragam, mulai dari penyuapan, penggelapan, dan pencucian uang hingga manipulasi pajak dan royalti. Pelanggaran lingkungan juga kerap menyertai kasus-kasus korupsi ini.
“Mereka sebenarnya melanggar aturan, dan untuk menghindari penuntutan atau tuntutan dari penegak hukum, mereka menggunakan cara-cara penyuapan,” jelasnya.
Dr. Syarif menyoroti distribusi keuntungan yang tidak adil dari sumber daya alam. Korupsi di sektor sumber daya alam Indonesia tidak hanya menyebabkan kerugian finansial bagi negara, tetapi juga mengancam kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
“Saya ingin menekankan bahwa korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia merupakan masalah yang signifikan. Proses perizinan bermasalah, kepemilikan perusahaan tidak jelas, dan pembagian pendapatan dan royalti tidak transparan. Masalah yang sangat kompleks ini membutuhkan perhatian lebih dari universitas,” tutupnya.